Beranda | Artikel
Penjelasan Empat Kaidah Pokok (5)
Jumat, 18 Desember 2015

Tujuan Hidup Manusia dan Misi Dakwah Para Rasul

Penulis -Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab- rahimahullah membawakan firman Allah (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat : 56)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak hafizhahullah berkata, “Allah subhanahu menjelaskan bahwasanya Dia menciptakan jin dan manusia supaya beribadah kepada-Nya. Inilah tujuan dan hikmah diciptakannya jin dan manusia itu. Allah telah memerintahkan hal itu kepada segenap manusia melalui lisan para rasul-Nya. Setiap nabi pun berkata kepada kaumnya (yang artinya), “Sembahlah Allah saja, tidak ada bagi kalian sesembahan -yang benar- selain Dia.” (Al-A’raaf : 59)…” (lihat Syarh Syaikh al-Barrak, hal. 11)

1353759462-660x330

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Terdapat riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu dan juga dari para ulama terdahulu yang lain, yang menafsirkan bahwasanya setiap perintah beribadah di dalam Al-Qur’an maka maksudnya adalah perintah untuk bertauhid. Sehingga makna ‘kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku’ adalah supaya mereka mentauhidkan-Ku dalam beribadah…” (lihat Syarh Syaikh Abdurrazzaq al-Badr, hal. 19)

Syaikh Muhammad Raslan hafizhahullah menjelaskan, “Artinya adalah ‘supaya mereka mentauhidkan Aku [Allah]’ yaitu agar mereka mengesakan Aku dalam beribadah, sedangkan -yang dimaksud- agama/millah Ibrahim itu adalah tauhid.” (lihat Syarh Syaikh Raslan, hal. 10)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “…Ibrahim mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla sebagaimana para nabi yang lain. Semua nabi mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl : 36)…” (lihat Syarh Syaikh al-Fauzan, hal. 13)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Ibadah kepada thaghut maksudnya adalah ibadah kepada selain Allah subhanahu. Sebab ibadah tidaklah sah jika dibarengi dengan syirik. Dan ia tidaklah benar kecuali apabila dilakukan dengan ikhlas/murni untuk Allah ‘azza wa jalla. Adapun orang yang beribadah kepada Allah namun juga beribadah kepada selain-Nya, maka ibadahnya itu tidak sah/tidak diterima.” (lihat Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah fi Hadzal ‘Ashr, hal. 12)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Washobi rahimahahullah mengatakan, “Ketahuilah wahai saudaraku sesama muslim, semoga Allah memberikan taufik kepadaku dan kepadamu, bahwa seorang insan tidaklah termasuk ahli tauhid yang sebenarnya kecuali setelah dia mengesakan Allah dalam melakukan segala bentuk ibadah.” (lihat al-Qaul al-Mufid fi Adillati at-Tauhid, hal. 32)

Tauhid inilah yang menjadi intisari dan pokok ajaran Islam. Sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma yang mengisahkan diutusnya Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ke Yaman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Mu’adz, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim, lafal milik Bukhari)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka wajib atas orang-orang yang mengajak/berdakwah kepada Islam untuk memulai dengan tauhid, sebagaimana hal itu menjadi permulaan dakwah para rasul ‘alaihmus sholatu was salam. Semua rasul dari yang pertama hingga yang terakhir memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Karena tauhid adalah asas/pondasi yang di atasnya ditegakkan agama ini. Apabila tauhid itu terwujud maka bangunan [agama] akan bisa tegak berdiri di atasnya…” (lihat at-Tauhid Ya ‘Ibaadallah, hal. 9)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “.. Beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, inilah makna tauhid. Adapun beribadah kepada Allah tanpa meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, ini bukanlah tauhid. Orang-orang musyrik beribadah kepada Allah, akan tetapi mereka juga beribadah kepada selain-Nya sehingga dengan sebab itulah mereka tergolong sebagai orang musyrik. Maka bukanlah yang terpenting itu adalah seorang beribadah kepada Allah, itu saja. Akan tetapi yang terpenting ialah beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Kalau tidak seperti itu maka dia tidak dikatakan sebagai hamba yang beribadah kepada Allah. Bahkan ia juga tidak menjadi seorang muwahhid/ahli tauhid. Orang yang melakukan sholat, puasa, dan haji tetapi dia tidak meninggalkan ibadah kepada selain Allah maka dia bukanlah muslim…” (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1 hal. 38-39)

tumblr_static_tumblr_static_9v8ky4hov74s40sc8k8g4gksc_640

Keutamaan dan Urgensi Tauhid

Sesungguhnya perkara paling agung yang Allah perintahkan adalah tauhid. Dan perkara paling besar yang dilarang Allah yaitu syirik. Allah tidaklah menciptakan makhluk melainkan supaya men-tauhidkan-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) (lihat keterangan ini dalam kitab ‘Inayat al-‘Ulama bi Kitab at-Tauhid, oleh Abdul Ilah bin ‘Utsman asy-Syaayi’ hafizhahullah, hal. 6)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Perkara paling agung yang diperintahkan Allah adalah tauhid, yang hakikat tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Tauhid itu mengandung kebaikan bagi hati, memberikan kelapangan, cahaya, dan kelapangan dada. Dan dengan tauhid itu pula akan lenyaplah berbagai kotoran yang menodainya. Pada tauhid itu terkandung kemaslahatan bagi badan, serta bagi [kehidupan] dunia dan akhirat. Adapun perkara paling besar yang dilarang Allah adalah syirik dalam beribadah kepada-Nya. Yang hal itu menimbulkan kerusakan dan penyesalan bagi hati, bagi badan, ketika di dunia maupun di akhirat. Segala kebaikan di dunia dan di akhirat itu semua adalah buah dari tauhid. Demikian pula, semua keburukan di dunia dan di akhirat, itu semua adalah buah dari syirik.” (lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyah, hal. 18)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah juga berkata, “Tidak ada suatu perkara yang memiliki dampak yang baik serta keutamaan beraneka ragam seperti halnya tauhid. Karena sesungguhnya kebaikan di dunia dan di akherat itu semua merupakan buah dari tauhid dan keutamaan yang muncul darinya.” (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 16)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Di antara keutamaan tauhid yang paling agung adalah ia merupakan sebab yang menghalangi kekalnya seorang di dalam neraka, yaitu apabila di dalam hatinya masih terdapat tauhid meskipun seberat biji sawi. Kemudian, apabila tauhid itu sempurna di dalam hati maka akan menghalangi masuk neraka secara keseluruhan/tidak masuk neraka sama sekali.” (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 17)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan olehnya)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus para utusan Kami dengan keterangan-keterangan yang jelas dan Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca agar umat manusia menegakkan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah subhanahu mengabarkan bahwasanya Dia mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya supaya umat manusia menegakkan timbangan (al-Qisth) yaitu keadilan. Diantara keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia adalah pokok keadilan dan pilar penegaknya. Adapun syirik adalah kezaliman yang sangat besar. Sehingga, syirik merupakan tindak kezaliman yang paling zalim, dan tauhid merupakan bentuk keadilan yang paling adil.” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya tauhid menjadi perintah yang paling agung disebabkan ia merupakan pokok seluruh ajaran agama. Oleh sebab itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan ajakan itu (tauhid), dan beliau pun memerintahkan kepada orang yang beliau utus untuk berdakwah agar memulai dakwah dengannya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 41)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang, dan itulah perkara yang tidaklah dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (lihat Syarh Muslim [2/88])

Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah berkata, “Oleh sebab itu para da’i yang menyerukan tauhid adalah da’i-da’i yang paling utama dan paling mulia. Sebab dakwah kepada tauhid merupakan dakwah kepada derajat keimanan yang tertinggi.” (lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 16)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menasihatkan, “Apabila para da’i pada hari ini hendak menyatukan umat, menjalin persaudaraan dan kerjasama, sudah semestinya mereka melakukan ishlah/perbaikan dalam hal aqidah. Tanpa memperbaiki aqidah tidak mungkin bisa mempersatukan umat. Karena ia akan menggabungkan berbagai hal yang saling bertentangan. Meski bagaimana pun cara orang mengusahakannya; dengan diadakan berbagai mu’tamar/pertemuan atau seminar untuk menyatukan kalimat. Maka itu semuanya tidak akan membuahkan hasil kecuali dengan memperbaiki aqidah, yaitu aqidah tauhid…” (lihat Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah, hal. 16)

Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi rahimahullah berkata, “… Sesungguhnya memperhatikan perkara tauhid adalah prioritas yang paling utama dan kewajiban yang paling wajib. Sementara meninggalkan dan berpaling darinya atau berpaling dari mempelajarinya merupakan bencana terbesar yang melanda. Oleh karenanya, setiap hamba wajib mempelajarinya dan mempelajari hal-hal yang membatalkan, meniadakan atau menguranginya, demikian pula wajib untuk mempelajari perkara apa saja yang bisa merusak/menodainya.” (lihat asy-Syarh al-Mujaz, hal. 8)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam risalah beliau yang lain yaitu Ushul Tsalatsah mengatakan, “Perkara terbesar yang diperintahkan Allah adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah. Dan perkara terbesar yang dilarang Allah adalah syirik, yaitu berdoa/beribadah kepada selain Allah bersama -ibadah- kepada-Nya.”

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Oleh sebab itulah Allah subhanahu wa ta’ala di dalam Al-Qur’an seringkali menyebutkan perintah untuk bertauhid dan larangan berbuat syirik.” (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul oleh Syaikh Bin Baz, hal. 16)

Syaikh Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah berkata, “Barangsiapa mentadabburi Kitabullah dan membaca Kitabullah dengan penuh perenungan, niscaya dia akan mendapati bahwasanya seluruh isi al-Qur’an; dari al-Fatihah sampai an-Naas, semuanya berisi dakwah tauhid. Bisa jadi berupa seruan untuk bertauhid atau berupa peringatan dari syirik. Terkadang ia berupa penjelasan tentang keadaan orang-orang yang bertauhid dan keadaan orang-orang yang berbuat syirik. Hampir-hampir al-Qur’an tidak pernah keluar dari pembicaraan ini. Ada kalanya ia membahas tentang suatu ibadah yang Allah syari’atkan dan Allah terangkan hukum-hukumnya, maka ini merupakan rincian dari ajaran tauhid…” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 22)


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/penjelasan-empat-kaidah-pokok-5/